“GUBRAKGABRUK ISIKLIWMIW!!”
Tiba tiba bunyi benturan keras
terdengar dari kejauhan, kejadian itu berlokasi di sekitaran kampusku, yaitu
Unirvesitas Bojong Kenyot, Bekasi Selatan.
Aku pun bersama teman – temanku yang
sedang merokok sambil tertawa senang karena tidak ada kelas hari ini sambil
makan gorengan bang Kumis pun kaget dan serentak mencari sumber suara itu.
Kejadian itu sepertinya tepat di depan kampusku yang kondisinya lumayan ramai
kendaraan bermotor berlalu lalang, kemudian kami melihat seorang pak tua yang
kira – kira berumur 57 tahun sedang tersungkur dan meringis kesakitan.
Saat kita tiba di sana, motornya
sudah terguling, dengan lampu depan&lampu belakangnya terpisah, rodanya
bulat dan knalpotnya panas!
Sungguh suasana yang mencekam saat
itu.
Aku dan teman – temanku seraya
membopong Pak tua itu kepinggiran agar tidak mengganggu arus lalu lintas dan
pengguna jalan yang lain, teman-temanku yang lain membawa motor Pak tua itu ke
showroom, lalu dijual, hasilnya pun dibagi rata.
Enggak lah.
Mereka membawa motor pak tua itu ke
pinggiran untuk diperiksa kondisi motornya.
Lalu aku berinisiatif membelikan Pak
tua itu minuman karena wajahnya terlihat lelah dan sesekali merintih kesakitan.
UPS!
Hampir lupa perkenalan.
Namaku Joni, aku seorang mahasiswa
jurusan manajemen dan sekarang sedang menuju ke semester delapan alias semester
tujuh, di Universitas Bojong Kenyot. Aku berumur 23 tahun dan aku seorang
kapten basket di kampusku.
Alhamdulillah,
sampai sekarang aku
masih perjaka atau bahasa gaulnya sekarang jomblo. Sebenarnya banyak yang ingin
dekat denganku, namun aku masih ingin hidup sendiri karena lebih bebas
melakukan apapun.
Padahal gak laku.
Sepertinya ini terlalu panjang dan
kurang penting.
Oke, kita kembali ke pak tua itu...
Pukul
13:13, Masih di sekitaran UBK.
Kuberi pak tua itu teh botol dingin
beserta sedotannya, pak tua itupun menerima dengan wajah ramah lalu diminumnya
teh itu dengan nikmatnya, sesekali aku melihat ke tubuhnya. Badannya kurus dan
agak ringkih dan rambutnya sudah mulai ber-uban, celananya robek dibagian lutut
mungkin karena peristiwa tadi.
Setelah semuanya aman terkendali dan
suasana sudah lumayan tenang akupun bertanya pada Pak tua itu;
“Pak, gimana keadaan Bapak? Ada luka
serius, nggak, Pak?”
“Alhamdulillah,
nggak dek. Cuma lecet sedikit aja. Terima kasih, ya, kamu dan teman – teman
mu sudah menolong bapak.”
“Baguslah kalau begitu pak. Iya,
sama-sama, pak. Sesama manusia wajib tolong menolong, apalagi menolong orang
tua.” Akupun bersyukur sekaligus senang karena bapak ini ramah dan ia
mengingatkanku pada ayah.
“Iya dek, adek kuliah disini? Tidak
ada kelas ya?” Pak tua itu mulai akrab dan menunjukkan kehangatannya.
“Oh iya pak, kebetulan saya sudah
pulang karena dosen sedang sakit.”
“Oh begitu, dek. Ohiya! Hampir lupa! Nama
adek siapa?”
“Hahaha, nama saya Joni pak. Nama
bapak siapa?” tanyaku sambil menjulurkan tangan untuk berjabatan.
“Nama bapak Karno, panggil saja pak Kar,
hehehe.”
“Hahaha oke Pakar! Ohiya pak,
bagaimana kondisi motornya? Masih bisa jalan atau tidak? Kalau tidak biar saya
antar bapak naik Vespa saya saja!”
“Sepertinya tidak Jon, rodanya udah
misah tuh. Huhuhu, Bapak mau menghubungi Bengkel saja agar motornya bisa dibawa.”
“Oke, kalau begitu bapak saya antar
saja ya, rumah bapak dimana?”
“Tidak merepotkan nih Jon? Rumah
bapak deket kok, 10KM dari sini.”
“Tidak usah sungkan pak, saya lagi free kok hehehe.”
“Tidak usah sungkan pak, saya lagi free kok hehehe.”
“Oke Jon, kita langsung capcus aja! Yuuuuk!”
“Siap pak Kaar!”
Bukan. Ini bukan gue kok.
Akupun melenggang santai dengan Vespa
tua tahun 80an namun tetap “ngejreng” di jalanan, bersama Pak Karno
dibelakangku yang sudah tua namun berjiwa muda dan asik diajak bercanda, walaupun usia kita terlampau jauh.
Ditengah jalan aku berhenti sebentar untuk mampir di warung untuk membeli
sebatang rokok karena cuaca agak mendung dan angin lumayan kencang.
*now
playing: Naif – Piknik ‘72*
Tiba – tiba dan tanpa diduga, saat
aku hendak membakar rokok ku, Pak Karno mengatakan sesuatu yang membuat aku
terdiam tanpa kata.
“Hei Joni, kamu merokok? Tidakkah kamu
kasihan pada orang tuamu di rumah?”
“Emmm, kasihan kenapa pak?”
“Kamu sudah bekerja, Jon?”
“Belum pak, memangnya kenapa?”
“Tega kamu Jon, membakar uang orang
tuamu dengan cara merokok. Kamu kira mencari uang itu semudah membalikkan
telapak tangan?”
Akupun
diam seribu bahasa, begitu perhatiannya pak tua ini, padahal belum genap sehari
aku mengenal beliau.
“Iya pak, sebenarnya merokok bagi
saya cuma untuk menenangkan diri saya dan menemani saya, soalnya saya sering
pulang sendiri, saya merasa sepi dan butuh teman, terkadang saya mencoba
mendengarkan musik agar sepi itu hilang, namun itu malah membuyarkan
konsentrasi saya di jalan.
Orang tua saya juga sering pergi ke
luar kota sehingga saya bertemu mereka seminggu hanya sekali. Saya terkadang
merasa sepi dan membutuhkan perhatian, pak.... Wah, saya jadi cerita panjang
lebar begini, ya. Maaf ya, pak.”
“Oh jadi begitu Jon, bapak turut
prihatin. Tapi untuk kesehatan badan dan kantongmu. Sebaiknya kamu tidak merokok,
Jon, bapak dulu juga perokok berat, namun bapak sudah berhenti 15 tahun yang
lalu, karena bapak sadar itu menguras kantong dan mengurangi umur bapak,
disamping anak bapak sudah mulai tumbuh besar saat itu, bapak tidak mau anak
bapak hidup dalam bayang – bayang asap rokok. Mumpung kamu masih muda,
sebaiknya kamu perlahan – lahan berhenti merokok, Jon. Percaya sama bapak, kamu
pasti bisa.”
“Wah terima kasih pak sarannya, saya
akan mencoba mengurangi kuantitas rokok saya sedikit demi sedikit mulai dari
sekarang..”
“Ngomong – ngomong, pak Kar punya
anak? Berapa umurnya pak? Wah bisa menjadi teman saya dong pak, hehehe. Iya
pak, tapi pasti sulit pak.”
“Punya Jon, masih muda kok Jon,
seumuran kamu lah. Wah tentu bisa dong! Eh, udah gelap nih, Jon, ayo lanjut
jalan! Keburu hujan, repot nanti.”
“Siap bos!”
Aku pun membuang rokok yang baru saja
kubeli dan belum sempat kubakar itu dan melanjutkan perjalanan kerumah pak Kar.
Pukul
15:16, dirumah Pak Karno, cuaca mulai mendung.
Sesampainya di rumah Pak Karno,
langit pun gelap menandakan awan akan menumpahkan isi perutnya. Pak Karno pun
dengan ramah menawarkan untuk berteduh dahulu di rumahnya. Akupun tidak bisa
menolak karena belum sempat aku menjawab, Pak Karno sudah keburu menarik
tanganku.
Dengan ramah beliau menyuruhku duduk
di ruang tamunya. Rumahnya besar, tamannya luas dan komplek rumahnya lumayan
asri, suasananya nyaman dan orang yang tinggal disini dijamin betah.
Belum kelar lamunanku, akupun
dikagetkan oleh suara halus nan lembut yang terdengar pelan..
“Kak, mau minum apa?”
Akupun
kaget dan terdiam, mulutku menganga lebar karena ada malaikat berwujud manusia
berdiri dengan anggun didepanku….
“Kak… Kak? Mau minum apa? Ditanya kok
malah bengong sih..”
“Eh iya dek, maaf maaf. Apa aja deh,
yang penting bisa diminum” jawabku gugup.
“Sebentar ya kak, aku ambil dulu.
Ayah lagi ganti baju tadi, tunggu dulu ya kak.”
“Oh jadi dia anaknya Pak Karno,
cantiknya bukan main!! Aku kira anaknya laki – laki taunya perempuan, cantik
lagi.” Gumamku.
“Bagaimana Jon? Udah ketemu anak
bapak belum? Cantik kan?” Tanya nya santai.
“Wah iya pak, namanya siapa? Bisa
kali kenalin hehehe” tanyaku sambil menggoda, namun berharap dikenalin.
“Boleh dong, Jon. Nanti kamu ajak
ngobrol aja. Tapi inget jangan ngapa-ngapain!”
“Oke siap pak bos!”
Aku
pun gugup tidak karuan karena aku belum pernah merasakan ini sebelumnya, aku
banyak bertemu perempuan yang lebih cantik. Tapi yang ini bener-bener bikin
hatiku dag dig dug seperti dangdut koplok di Pantura…
*Anak
perempuan pak Kar pun masuk dan membawa teh hangat*
“Ini kak silahkan diminum, mumpung
masih anget. Hehehe”
“Oh iya dek, terimakasih ya.”
“Kembali kasih kak. Nama kakak siapa?”
tanya nya ramah.
“Wah,
ini anak sama aja seperti ayahnya. Sopan dan ramah padahal belum kenal. Benar
benar keluarga impian.” Lagi lagi aku berbicara sendiri..
“Nama abang Joni dek, nama kamu
siapa?”
“Namaku Aulia kak, panggil aja Lia. Kakak
kuliah ya? Semester berapa?”
“Nama kamu bagus, Li. Aku semester 7,
Is, kamu?”
“Wah, sudah mau lulus dong kak? Aku
semester 4 nih, hehehe.”
“Ngambil jurusan apa Li?”
“Ilmu Komunikasi kak.”
Setelah sekaian lama berbincang
bincang dan saling mengenal satu sama lain, tak terasa gelap pun jatuh.
Sebelum pulang akupun tak lupa
meminta nomor Whatsapp Lia. Aku tidak
akan melewatkan kesempatan emas seperti ini yang belum tentu datang dua kali.
Klise memang, tapi, ya, I think I’m in love right now.
8 bulan telah berlalu, aku dan Lia
pun sudah berteman dekat.
Kami sepakat untuk tidak pacaran
dahulu, karena aku sedang fokus dengan skripsiku dan Lia pun sedang berusaha
untuk mendapatkan IPK yang bagus, Lia sibuk dengan organisasi di kampusnya. Aku
bangga dengan Lia, dia jauh lebih aktif di kampusnya dibandingkan dengan aku
yang kerjaannya cuma main basket dan nongkrong bersama teman – temanku.
Ayah Lia alias Pak Karno pun tidak
keberatan kita dekat, karena dimata Pak Karno aku adalah anak yang baik dan
sopan.
Sedangkan dimataku Pak Karno sudah
seperti ayah kedua, karena sifatnya yang sangat perhatian dan baik.
Mengingatkanku pada ayahku diluar kota sana..
Aku pun akhirnya lulus dan aku sukses
berhenti merokok.
Lia pun makin dekat denganku, bukan
hanya denganku saja. Tapi ia sudah kenal bahkan dekat dengan keluargaku
Begitupun aku dengan keluarganya.
Singkat kata kami hidup bahagia, aku
bahagia. Bahagia karena bisa mendapatkan pasangan sesempurna Lia, dan
keluarganya yang menerimaku.
Aku mendapatkan kebahagiaan yang tak
terduga-duga.
Hanya karena aku menolong seorang Pak
tua yang kecelakaan, hidupku pun berubah 180 derajat.
Akupun
teringat dengan perkataan Brian Tracy;
“Orang
sukses selalu mencari kesempatan untuk menolong orang, sedangkan orang gagal
selalu bertanya, “Apa yang aku dapat dari kesempatan itu?”
0 komentar:
Posting Komentar